Sabtu, 21 Juli 2012

KUMPULAN PUISI NOPALINA MANURUNG


1) PRAMURIA 

Baiklah sesekali kita bersabar. 
Seperti debar seseorang tegar, 
yang duduk menunggu sebelum percakapan dimulai, 
lalu tawar-menawar. 

sebaiknya, buanglah prasangka burukmu,
yang terlalu lama kau biarkan, dikepalamu. 
Sebagai sesuatu yang tidak layak kamu simpan 
Berlama-lama dalam ingatan 

Barangkali, mereka akan memandangmu seorang lacur 
Yang terlalu pasrah pada keadaan, 
dan tidak sekali-kali bertukar tempat
dengan perasaanmu yang hancur 

Mereka memang suka begitu 
Dengan tergesa-gesa menuduhmu 
Sebagai simalas yang enggan mengubah keadaan 
Tanpa melihat, telah seberapa jauh kau menempuh perjalanan. 
Tersandung, jatuh, dan membayar lunas hati yang tergadaikan 

Masakah ia, belum lagi seberapa lama hatimu ditebus harga sebuah rasa malu. 
Yang kau tanggung, dengan sebanyak mata menuju. 
Lalu kau judikan lagi dengan waktu? 

Ah mereka memang hanya suka berbicara, membicarakanmu, tanpa memahamimu. 
Riau, 19/07/12 


2) PELAUT DAN KEKASIHNYA YANG PULANG 

Ada yang pulang, 
menjinjing jala dipundaknya, 
membawa cinta dan kerinduan yang masih sama.
Menuju matahari terbenam, selepas camar-camar menjadi beberapa titik di udara. 
Itu, Mereka yang berangkulan, dan pulang kesarang. 
Kehangatan sekaligus Kecemburuan, yang tidak ingin disaksikannya setiap senja tiba. 

Dia yang tak jemu-jemu, pergi dan kembali untukmu. Dengan cinta yang tidak pernah terbagi, 
ah barangkali rindu memang sudah usang. Atau pelukannmu kah itu, yang tidak lagi sehangat dulu? 

Sehabis Senja, 
kulihat dia memetikkan gitar tua. 
Dibalik senar-senarnya ada stiker kecil, 
ada kata saya, gambar hati juga namamu. 
dilantunkannya irama kerinduan yang sangat dalam.
Sambil sesekali menyeruput teh buatannya sendiri. 

Tiap kali irama gitar melemah,
tiap kali itu pula ia menarik nafas yang sangat panjang.
Seperti, penyair yang kelelahan menyudahi ingatan yang jauh, 
sejauh dekapanmu kini. 

Ah,,, itu terlalu melelahkannya.
Mengapa tidak kau bawa saja dia bersamamu,
seperti dahulu. 
Seperti lenganmu, yang menggelayut manja dilengannya. 
Seperti janjimu, yang akan tetap setia bersamanya.
Ah sepertinya cinta pun tak abadi, seabadi kau di ingatannya. 
Riau, 10/02/12 


3) PETUALANG 

Dunia luas, 
selalu ada yang ingin ditakhlukkan sepasang sayap 
yg melekat dipunggungnya. 
dialah camar-camar kehidupan, 
yang terbang ke atas lautan, 
melewati bukit-bukit, 
dan menahklukkan lautan 
yang lebih luas tiap kalinya. 


Dunia terekam baik di bola matanya, 
selalu ada yang tampak berbeda 
ketika tiap kali memulai perjalanan. 
Langit biru, abu, dan pohon akasia tua, yang meranggas. 
bukit-bukit yang menawarkan banyak pelukan. 
Aliran sungai, persawahan dan punggung para gadis- gadis di pagi hari. 
Mengajaknya untuk selalu memulai tanpa ingin 
mengakhiri. 

Ketika lelah tidak ditanggalkannya 
sayapnya pada senja musim itu, 
walau hanya langit merah abu-abu itu 
yang selalu didengarkannya untuk 
kembali pulang. 

Mungkin sebuah perhentian berada diantara sepasang 
lautan matamu, 
lautan terluas yang tidak akan pernah selesai 
walau dia arungi,
sampai sepasang sayap telah menua, 
dan jiwanya
pulang kedunia orang mati. 

Riau, 


4) SURAT YANG TAK PERNAH SAMPAI 

: Kepada ibu 
Semoga saja, sesampainya suratku ini 
Engkau tidak lagi suka marah-marah 
Menyuruhku ini dan itu yang tidak sekalipun menggunakan nada rendah 
Tetapi melebihi volume radio tape yang sering engkau putar ketika sedang berbenah 
masih jelas terekam diingatanku, ketika kau sedang beradu mulut, lewat pertengkaran-pertengkaran dengan kekasihmu, lalu saling diam dalam beberapa waktu. 
Sepanjang hari, engkau akan menyetel suara pance pondang, seakan memenuhi isi rumah, dengan tembang-tembang kenangan. Entahlah, engkau sedang berbahagia atau sedang bersedih saat itu, sebab kulihat engkau begitu kusyuk mendengarkan tiap bait, lirik lagu pondang merobek-robek hatimu. 

Sesekali, kulihat engkau tersenyum sedemikian manis, sebelum disepasang matamu engkau menitikkan gerimis. 
Seharusnya, aku lebih faham waktu itu. 
Bagaimana engkau, menyembunyikan kesedihan lewat airmukamu, yang selalu tampak bening ketika bertatapan denganku. Harusnya aku lebih pintar mengeja, bagaimana engkau memikirkan hal-hal sederhana, yang terkadang kekasihmu sebut sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan. 
"kita perlu hemat, dengan lima puluh rupiah setiap hari, menahan setengah jengkal, untuk memperpanjang jengkal-jengkal berikutnya" 
Seperti kebahagiaan, yang tidak harus kamu habiskan dalam sehari. 
Ataupun kesedihan yang tidak mesti kamu tuntaskan dalam jangka waktu yang singkat sekali. Tabunglah hal baik hari ini, agar kau temui dilain hari. 

Sejujurnya, aku tidak begitu faham, untuk apa kau selalu menyebutkan itu. Yang kutahu, engkau selalu mengucapkan kata-kata itu, ketika kekasihmu meminta sedikit kebahagiaan, pada warung diujung jalan. Yang semata-mata, menurutmu itu hal yang bisa kau sediakan. Seperti membuatkan kopi seharga tiga ribu, atau untuk sekedar mendengarkan teriakan yang begitu ramai, ketika Raul Gonzales berhasil mempertemukan bola kedalam pelukan gawang lawan. 
Entahlah, itu ingatan yang buruk atau yang baik. 
Sebab kulihat kekasihmu, setelah kau pergi jauh, dia lebih suka berdiam dirumah, menyaksikan kaki-kaki di layar kaca sedang memperebutkan kebahagiaan, sesekali di seruputnya seduhan resep rahasia, yang pernah berhasil membuatnya mencintaimu, dan memelukmu sedemikian lama. Dua sendok gula, sesendok kopi, dan cinta yang tak pernah habis, katamu. 
Dalam waktu lima belas menit, setelah empat puluh lima menit berhasil mengabaikanmu, dia lebih suka memikirkanmu, diam dan tersenyum seperti sedang mengingat sesuatu. 
Aku kira, dia tidak sedang berbahagia atas kepergianmu, tetapi dia sedang berhasil menemukan kebahagiaan ketika mengingatmu, teriakanmu, pun kata-kata yang pernah mengesalkan hatinya. Disana, dibayangkannya kau sedang berteriak, dari dapur, keruang tamu, sampai kepada pintu dimana sepasang tangan saling melambai, lalu menciptakan pedihnya rindu. 
SUMUT, 02 Januari 


5) PUISI UNTUK WIJI 
: Wiji 



Kaulah gadis belia, di awal pagi 
Kekasih yang memekarkan bunga-bunga dimusim semi 
Menanam, merawat segala yang menggetarkan isi hati 
Menjelma detak jantung, memenuhi segala sisi dan ruang-ruang sunyi. 


Kaulah puisi pagi itu 
Yang menghangatkan jiwa dari rasa sepi 
Yang melahirkan rasa ingin, 
dan rindu yang enggan pergi 

Musim tetaplah musim, Wiji 
Sebab keabadian hanya milik kenangan 
Sedang rindu tetaplah rindu 
Tetapi takdir, telah ditetapkan. 

Wiji,,, 
pada senja paling rapuh, 
Disepasang matamu yang teduh, kekasihmu menakar rindu. 
Dengan sesekali mengingat sesuatu. 
Kau atau dia, 
Meninggalkanmu atau membiarkan dia,
kekasih lain yang lebih pantas mencintaimu, memilikimu. 

Wiji,,, 
Rindu tak melulu tumbuh dan berbunga 
Dimusim gugur, 
dari antara ranting-ranting, 
kepedihan kerapkali berjatuhan, 
walau tidak pernah kita inginkan. 

Musim, tidaklah salah 
Tetapi aku yang terlalu mudah menyerah 
Oleh waktu, dan musim-musim yang selalu tampak lebih gagah 
Membiarkanmu pergi, kepada tempat yang entah 


Aku pergi, kau pun pergi 
Kita melangkah berjauhan 
Meninggalkan bukit musim hujan 
Dan hutan pinus yang selalu menawarkan hangatnya pelukan 

Wiji,,,, 
Tak ada yang perlu kita sesalkan 
Sebab, mungkin, tampaku kau temukan kebahagiaan 
Hal yang takkan pernah bisa kuberikan 
Sampai segala musim terlewatkan 

Wiji,,,, 
Kau disana, aku disini 
mari melupakan kesedihan dari hati 
Kenangan kita, yang tak akan pernah kembali. 

Teruntuk: wiji 

Riau, 9 Mei 2012 


6/ SULITKAH BERTERIMAKASIH 
sering kubayangkan, seperti apa Tuhan menitipkan kita pada seorang ibu yang bisa menangis dan tertawa, seperti kanak-kanak yang terperangkap didalam tubuh orang dewasa. 
mengapa tidak dititipkan pada sebutir telur, lalu sesuatu yang bernama ibu mengerami selama dua puluh satu hari, dan bertumbuh seperti ikan dilaut, sederhana seperti burung diudara. Kita tidak perlu harus memikirkan ini dan itu, mempermasalahkan hal ini dan hal itu. Kita tak perlu memikirkan kapan jadi seperti ini dan seperti itu. 

Pernahkah kau, bangun pagi-pagi, lalu kau lihat diantara ranting-ranting, burung-burung berkicau, tanpa pura-pura. Melupakan maut, dan menerima hidup tanpa banyak menuntut, 

Aku kira, ketika dia berkicau. Dia sedang mengucap syukur, atas sayap yang telah dijahitkan tuhan untuknya. 
Dia tidak meminta tangan untuk mencuri, meminta bibir yang seksi untuk bisa dioleskan produk-produk luar negeri, agar dikatakan cantik dan luar biasa sekali. 

Pernahkah kau memelihara sepasang ayam? 
Lalu, kau dengarkah dia berkokok dipagi sekali, tanpa melupa setiap pagi. 
membangunkanmu dari mimpi yang panjang tiap kali, 
Apakah kau ucap terima kasih, 
Tentu saja tidak, 

Sebab disamping ranjang, sebuah weker, dengan model tuan bean, dipunggungnya tertulis made in japan, siap berdetak. Bila tiba waktunya, dia akan berdering, seperti rasa banggamu ketika memilikinya, lalu kau mengucap terima kasih juga kah? 
Tentu saja tidak, 

pernah suatu kali, dihari libur yang kau nanti-nanti. Kau lupa menyetel, waktu. 
Diweker made in japan tadi, 

Bukankah, rasa setianya yang kau ingin? 
berdering diwaktu yang kau ingin, 
sebagai pengabdian kepada tuan yang paling miskin, 
Dari Rasa syukur. 

enam hari bekerja untuk dunia, tentulah penat rasanya. 
Sesekali, bolehlah kita melupa waktu, mengistirahatkan pikiran dari hidup, yang dikuasai yang fana. 

Ini pukul lima, 
waktunya weker menunjukkan rasa cinta, 
Kringgggggg,,,,,,,,kringgg 
Begitulah bunyinya. Dia berdering, terus, terus, dan terus, sampai pukul lima selesai. 

saya tahu, kali ini kamu pasti akan marah. Melemparkan waktu, melupakan, dan terlelap lagi. Kau lupa, enam hari lamanya, dia setia, bahkan juga hari ini. 
kau hancurkan dia, seperti melupakan, kalau kau pernah susah payah memilikinya. 

Ah,, entah hal apa lagi yang ingin kusebutkan, ini semua hanya tentang rasa syukur, waktu, dan pengabdian kepada tuan, ah salah, maksud saya tuhan. Tapi ingat, kita bukan tuhan, kita juga bukan weker, bukan burung, bukan juga ayam, atau ikan. 
Kita manusia, ya manusia. Yang bisa menjadi apa saja, yang bisa mengucapkan terima kasih kepada siapa saja, 
Kepada tuhan, kepada weker, kepada ayam, kepada burung, juga kepada ikan yang kita makan setiap hari, anggap itu rasa syukur kepada Dia yang menciptakan. 

Riau, 24 April 12 


7) PASAR 

di hari libur, aku selalu suka mengunjungi keramaian, dimana ada kutemui bermacam-macam wajah disana. bukan mall atau kawasan elit lainnya. Aku lebih suka, berdiri diantara penjaja ikan asin juga preman kecil yang menjadi juru parkir disana. menyaksikan keramaian yang sangat sederhana. Suara rengek anak kecil dan teriakan penjaja pakaian bekas dimana-mana. Tiga lima ribu,,,,, tiga lima ribu, begitu katanya. Juga wanita sederhana, yang sedang menenteng keranjang berisi sayuran, yang sesekali berhenti, memberikan sapa kepada seseorang yang mungkin dikenal . Mungkin sedikit berbasa basi, karena bertemu. Bisa kubayangkan, hal-hal apa yang paling suka mereka bicarakan, mungkin tentang dapur, anak-anak dan suami yang sudah pergi bekerja subuh tadi. Atau sebagian dari mereka, sedang bekerja, jadi ibu rumah tangga bagi pemilik rumah mewah dan fasilitas-fasilitas mewah di keramaian yang berbeda. 

Disudut gang keramaian, kulihat pengemis tua, menadahkan mangkok biru bertali kuning, menyanyikan lagu tua, yang mungkin telah dinyanyikannya setua ingatannya. lalu seorang ibu menjatuhkan uang recehan beberapa keping, tringgg begitu bunyinya. Lalu berlalu, tanpa memikirkan adakah orang-orang yang menyaksikannya berbuat baik? 
Saya tahu, Itu hanya beberapa keping, sisa uang belanja dari penghasilan suami yang tidak seberapa.
tetapi tidak lupa bersyukur kepada pencipta, ah sesekali jadi terngiang ditelingaku, isi buku suci yang diajarkan pendeta minggu lalu digereja. Barang siapa berbuat baik kepada anak kecil ini, dia melalukannya untukku. Dan barang siapa berbuat baik kepadaku, dia melakukkannya untuk Bapaku. Begitulah kira-kira, lalu tiba-tiba saja hatiku bahagia sekali, seperti mendapatkan penemuan yang baru. Ah si ibu sederhana melakukan kebaikan kepada dua orang sekaligus pikirku, 
Lalu kudekati pengemis tua itu, seraya bergumam dalam hati, apa yang membuatnya tidak bekerja, kulihat dia memiliki tangan yang bulat seperti pemukul bola kasti, kaki berukuran kecil yang tak berdaya, yang menimbulkan iba hatiku, lalu ku jatuhkan beberapa lembar uang ribuan, lalu pergi. 
Dalam hati aku bertanya, adakah yang kulakukan ini perbuatan baik, atau hanya iba semata. 
Yang harus meneliti dahulu, pantaskah dia menerima sesuatu dariku. Yang sementara, lebih dari itu dengan sekejap kuhabiskan dalam sehari, seperti menghabiskan berbatang-batang coklat yang seharusnya bukan kebutuhan pokok, atau sekedar membeli sepotong baju yang hanya dipakai beberapa kali, atau barang kali menghabiskannya untuk menjelajahi Jejaring sosial, ya seperti yang saya lakukan saat ini. Hanya untuk sekedar melihat gosip hari ini, juga hal-hal yang menarik di tertawakan. 
Ah, entah didunia mana saya kini tinggal. Diantara wanita, yang membicarakan trend, dan kesenangan masa kini, Atau di didunia tua, yang mencintai segala yang fana? ah sepertinya tak ada bedanya bukan, 
Aku hanya ingin jadi ibu seperti dipasar tadi, bukan menjadi aku yang suka berpura-pura. Atau mungkin jadi, seperti pasar yang kudatangi tadi, dimana kepura-pura, hanya ada aku dan pikiranku sendiri. 

Riau, 11 Maret 2012 

8) ELEGI UNTUK KEKASIH 


*aku pergi! 


mungkin, setelah aku pergi, 

kelak perdebatan besar 
yang akan terjadi. 

antara angan dan kenangan didalam dadamu. 
Riuh, seperti gerimis yang menitik diatap rumah cinta. 

kau akan merindukan, hangat pelukku yg tidak pernah 
lelah, 

meski selalu kau abaikan, 

kau akan merindukan, 
kicau pagiku, 

doa-doa yg tidak pernah lupa aku kirimkan setiap 
waktunya. 

Disebuah senja, ribuan kupu-kupu, akan berhamburan 
dari dalam dadamu, 

membawa keindahan, yg tidak 
pernah kau sadari. 

terbang jauh, sejauh pelukanmu yang tidak pernah 
mengerti. 

Mungkin kau akan mengerti, 
bagaimana sakitnya 
mencintaimu, 
setiap senja, 
dan ketika pagi datang, 
setelah aku benar-benar tiada,,,,, 
Riau, 17/05/12 


9) ELEGI UNTUK KEKASIH 

hatimu adalah kota mati, 
tempat bersarangnya para penyamun, 
dan para penikmat sepi. 


kau biarkan, 
kota-kota lain mengabaikanmu, 

menunggu 
penghuni yang ramai, 

terluka lalu menujumu. 

Aku terbiasa terjatuh, 
dan memarnya dimana-mana, 

yang kuherankan, mengapa tidak sekali saja, 
jatuh padamu, 
menikmati sepi 
sebagai yang paling lama 

kita tinggali. 

Menujumu, 

seperti sebuah perjalanan panjang, 

jarak 
yang takkan pernah mampu aku takhlukkan. 


Sengaja, 
kulukakan segala yang lemah dalam jiwaku, 

kelak akan kau tampung, 
sebagai hujan 
yang digugurkan langit 
di sebuah senja, 

tetap saja, 

kau adalah, jarak, 
kota mati 

yang takkan pernah mampu, 

aku tinggali 
Riau, 17/05/12

4 komentar: