Senin, 08 April 2013

Iman dan Akal (Rasio)

Iman dan Akal (Rasio)

Oleh: Christianto Dm


Tidak semua hal menyangkut keyakinan disertai dengan pemahaman ‘yang layak’ pada seseorang. Beberapa hal tertentu yang diimani itu kemudian tampak sebagai keyakinan semata bilamana diajukan beberapa pertanyaan atasnya. Kondisi semacam inilah yang pada akhir sebuah diskusi, khususnya teologis, sering memproyeksikan adanya ‘jurang’ antara iman dan akal (rasio). Jurang yang bisa memunculkan bias perwujudan iman yang sejati sebagai fanatisme sempit, atau sebaliknya kepandaian yang berpotensi melahirkan ateis-ateis sejati…

Sederhananya, eksistensi iman dalam kehidupan seseorang dengan jelas terlihat manakala ia meyakini hal-hal yang tidak dilihatnya, seperti mempercayai bahwa Tuhan yang menciptakan semesta raya ini. Bandingkan maksud pernyataan tersebut dengan mempercayai bahwa nenek/kakek kita juga mempunyai nenek/kakek dan seterusnya dan seterusnya sehingga kita memahaminya (=mempercayainya) sebagai nenek moyang. Bagi kepastian logis yang lebih merupakan wacana akal (rasio), mempercayai eksistensi Tuhan dengan eksistensi nenek moyang tersebut, meski pada prosesnya memiliki kemiripan, namun berbeda dalam hal pertanggungjawabannya, yaitu bagi beban pembuktian logis yang diinginkan atas keduanya. Kenyataan ini, yaitu terutama bagi beban pembuktian yang dimaksud, tentunya juga memberi pemahaman bahwa pada dasarnya iman berbeda dengan akal budi (selain diskusi bahwa keduanya juga berhubungan dengan beban pembuktian moral, bagi kepastian moral). Namun, permasalahan yang sebenarnya ialah apakah iman betentangan dengan akal? Di dalam kajian studi atas objeknya, apakah objek bagi iman tidak dapat dirasionalisasi atau dengan kata lain proses rasionalisasi atas sebuah objek imanen selalu berpotensi sebagai perwujudan arogansi intelektualisme? Dalam pemikiran saya, ini adalah permasalahan perspektif; yaitu bagaimana seseorang menempatkan keduanya, iman dan rasio, dalam membentuk wawasan dunianya, dunia luar dan dunia batin.

Wawasan dunia seseorang diperhadapkan juga dengan persoalan-persoalan beyond logic, yaitu realita-realita (logis) yang berada di luar kemampuan penalarannya. Bukan irasional, tapi transrasional. Pengistilahan ini juga berarti bahwa realita-realita yang dimaksud, bagi kepastian logis, memiliki batasan/kesulitan bagi pertanggungjawaban logisnya (bagaimana dengan pertanggungjawaban moral?). Bukan bertentangan dengan logika. Sebaliknya, sebuah kesimpulan logis bahwa tidak dapat diberikan suatu penjelasan yang memuaskan bagi kepastian logis yang diinginkan (=memecahkan permasalahan logis). Ini jelas berbeda dengan istilah irasional bahwa dapat diberikan sebuah pertanggungjawaban logis bagi kepastian logis di mana hal tertentu benar-benar (=valid) tidak masuk akal. Misalnya proposisi invalid sebuah konklusi bahwa anjing bertelur. Sekali lagi, bila irasional mengandung makna pasti secara logis (=bertentangan; kebalikan rasional), maka tidak demikian bagi makna transrasional dalam hubungan yang sama. Transrasional lebih bermakna ‘ketidakpastian’ (=tidak dapat dibuktikan sebagai valid atau invalid; benar atau salah) secara logis yang disebabkan oleh proposisi transrasional jelas berada di luar penalaran bagi kepastian logis. Potensi ketidakpastian logis yang bukan berada pada proposisi tersebut, melainkan pada kapabilitas Logika. Sebagai contoh proposisi-proposisi bagi eksistensi ‘bangsa roh’ seperti setan, hantu, dan sebagainya. Termasuk proposisi dari fakta mujizat. Bagi contoh-contoh semacam itu, tidak dimiliki kepastian logis yang memuaskan (atau belum?) namun memiliki kepastian moral (sebagai benar atau salah oleh pengetahuan priori; pengalaman empiris). Beban pembuktian logis atas keduanya memiliki kesulitan tertentu yang berhubungan dengan makna transrasional yang dimaksud.

Telah disinggung sebelumnya menyangkut wawasan dunia seseorang yang berhubungan dengan dunia batin dan dunia luar. Bagi dunia luar, wawasan ini juga dibentuk oleh serangkaian fakta empiris. Selain itu, pandangan-pandangan yang ‘menguasai’ pemikiran dunia, yang secara ‘relative’ mewakili penerimaan universal. Misalnya bahwa mamalia adalah binatang menyusui. Saya tidak pernah melihat seekor ikan paus atau tikus menyusui anak-anaknya, namun saya yakin, logis dan moral; terutama deduktif, bahwa itu benar (Bagi sebuah pembedaan tertentu menyangkut iman dan reason/akal budi/rasio, keyakinan ‘saya’ seperti ini dikategorikan sebagai iman; iman yang kemudian dianggap ‘bertentangan secara psikologis’ dengan reason bilamana kemudian saya menyaksikan langsung seekor tikus ‘meneteki’ anaknya. Keyakinan saya itu bukan iman lagi, melainkan reasonable. Gap antara iman dan rasio semacam ini adalah perspektif relative, yaitu bergantung pada ‘pemaknaan’ seseorang atas iman dan rasio). Bagi dunia batinnya, seseorang juga diperhadapkan dengan realita-realita yang sulit dijelaskan secara logis. Meski dapat dialami secara empiris (misalnya mujizat atau ‘bangsa roh’ tadi), namun kepastian yang dimiliki atasnya lebih merupakan kepastian moral. Yaitu seseorang menjadi yakin tentang sesuatu tanpa memiliki pertanggungjawaban logis yang memuaskan atasnya. Sebagai contoh yang lain, keyakinan saya bahwa orang lain juga memiliki pikiran di ‘dalam’ dirinya. Keyakinan saya ini lebih didasarkan pada pemahaman subjektif bahwa saya juga memiliki pikiran. Akan tetapi tentu saja saya tidak memiliki kepastian logis untuk membuktikan itu dengan memuaskan. Yang terjadi ialah argumentasi saya bagi beban pembuktian logis atasnya selain bersifat subjektif, juga melulu didasarkan pada dampak yang bisa saya amati. Bagaimana jika dampak yang dimaksud tidak cukup sebagai bukti yang diinginkan? Sikap diam, kening yang ‘berkerut’, memegang hidung, dan sebagainya mungkin bisa mengindikasikan eksistensi pikiran seseorang, namun itu bukan jaminan yang mutlak atau valid (bagi kepastian logis) bahwa seseorang itu benar-benar sedang berpikir…bahwa seseorang itu memiliki pikiran ‘dalam dirinya’ sebagaimana saya yang sedang memikirkan ‘pikirannya’ itu.

Topik ‘terbaik’ untuk memikirkan relasi iman dan rasio ini ialah menyangkut eksistensi Tuhan. Bahwa beban pembuktian atasnya, selain melibatkan dua ‘kondisi natural’ (iman dan rasio) manusia itu, juga merupakan perdebatan yang menimbulkan pro dan kontra. Secara pribadi, saya tidak sependapat 100% dengan mereka yang ‘mematikan’ akal bagi kepentingan pembuktian ini. Apa yang mereka anggap sebagai ‘arogansi rasio’ tidaklah seluruhnya benar manakala memikirkan bahwa tidak mungkin dimiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan (misalnya dari pewahyuan) tanpa menggunakan akal (pikirkan seorang idiot atau hewan). Keyakinan yang ‘tidak berakal’ berpotensi besar untuk menciptakan fanatisme-fanatisme sempit. Selain itu, sebagaimana uraian di atas tentang istilah ‘transrasional’ tadi, akal tidak harus bertentangan dengan iman. Daripada mematikan akal, dan juga tidak harus memaksakannya, akal sebaiknya diposisikan ‘sebagaimana mestinya’. Dengan akal, pertanggungjawaban tertentu atas iman dapat diberikan. Sebaliknya bagi yang kontra, menurut saya mereka justru menyangkali rasionalitas sendiri. Mengapa? Beberapa fakta empiris jelas diabaikan sebelum sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak eksis. Bahkan, meskipun asumtif, mereka jelas menyangkali beberapa hal menyangkut dunia batin mereka sendiri. Singkatnya, mereka tidak memiliki argument logis yang layak untuk inferensialisasi bahwa Tuhan tidak eksis. Kesimpulan bahwa Tuhan tidak eksis hanyalah negasi terhadap proposisi teologis tentang eksistensi Tuhan yang tidak memberikan kepastian logis yang memuaskan logika akan eksistensi Tuhan tersebut, sementara negasi itu sendiri tidak memiliki konsep logis yang kuat untuk memberikan kesimpulan logis yang memuaskan bahwa Tuhan tidak eksis (pikirkan fakta-fakta empiris yang diabaikan). Bagi keduanya, disadari bahwa beban pembuktian logis bagi eksistensi Tuhan tidaklah mudah. Namun, untuk beban pembuktian yang sebaliknya, jelas lebih sulit dicapai secara logis. Jadi, tudingan bahwa seseorang yang mengimani Tuhan bersikap irasional adalah jelas keliru. Sebaliknya, tudingan bernada demikian adalah tepat diberikan kepada mereka yang menyangkali eksistensi ‘Tak Terdefinisikan’ tersebut. Yaitu mereka yang mengabaikan fakta-fakta empiris. Menolak pengetahuan priori yang sehubungan dengan realita/fakta, atau mengambil kesimpulan logisnya dengan dasar argumentasi yang lemah.

Sehubungan dengan wawasan dunia seseorang, iman dan rasio memiliki peranan yang saling berkaitan, saling mendukung. Iman tidak seharusnya mematikan akal, sebaliknya rasio justru bersikap irasional manakala mengabaikan imanensibilitas. Dengan rasio, seseorang menjawab beberapa hal sehubungan dengan pertanggungjawaban imannya. Misalnya dalam kepentingan yang berhubungan dengan ketegangan-ketegangan filosofis. Dengan iman, rasio diletakkan sedemikian rupa untuk memahami hal-hal yang beyond logic. Pemahaman logis yang mungkin memberi validitas yang diinginkan dengan melihat konsistensi dan konsekuensi logis dari relasi seluruh proposisi-proposisi yang diberikan. Pembuktian validitas logis (bagi pembuktian sebagai benar) yang lebih dibebankan kepada keterkaitan-keterkatian logis tertentu, konsisten dan konsekuen. Dengan rasio, seseorang dimungkinkan untuk memberikan pemahaman penalaran yang terbaik atas apa yang diyakininya itu. Pemahaman yang berkaitan dengan pengenalan, di mana oleh pengenalan yang terbaik, seseorang dapat menghidupi keyakinannya tersebut sebaik mungkin. Sejauh mana seseorang mengenal Tuhannya, sedemikian itulah penghargaan yang mungkin diberikannya kepada-Nya. Mengutip kalimat A. W. Tozer dalam salah satu bukunya, Mengenal Yang Mahakudus:
“Apakah ibadat itu mulia atau hina bergantung pada tinggi rendahnya pandangan mengenai Allah yang dianut oleh mereka yang beribadat.” (hal. 8)
“Kita boleh berbicara, sebab Allah sudah berbicara… bahwa gagasan kita mengenai Allah itu sedekat mungkin dengan keadaan Allah yang sebenar-benarnya.” (hal. 9)
“Gagasan yang salah tentang Allah bukan saja merupakan sumber penyembahan berhala, tetapi gagasan itu sendiri juga sudah bersifat penyembahan berhala… Pengertian yang salah tentang Allah akan segera merusak agama yang menganut pengertian itu.” (hal. 12)

Salam Damai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar